Jumat, 03 Mei 2019

Menelisik Mozaik dalam Air Mata: Dzikir Terakhir


Menelisik  Mozaik dalam Air Mata: Dzikir Terakhir
(7 Maret 2019)


Kita mungkin sudah akrab dengan dzikir yang seringkali dipandu oleh ustad andalan Excel—ustad Muis. Dzikir yang sudah kita kenal sejak awal duduk di bangku SMA. Dzikir yang tak jarang membuat mata kita sembab sebab air mata. Menurut kalian adakah yang bisa mengalahkan atau setidaknya menyamai sensasi damainya hati kala dzikir itu telah selesai?
Belum lagi, jika suara khas ust. Muis yang menyebut kata ‘Orang tua’  membuat tangis itu semakin menjadi-jadi. Bahkan membawa efek ‘taubat’ bagi yang mengikutinya. Meskipun efeknya kadangkala berlangsung beberapa saat. Bahkan kadang ada yang tak sampai 24 jam. Setidaknya efek  itu yang membuat kita lebih mengenal hati kita sendiri.  Membuat kita tahu bahwa diri kita berlumur dosa. Membuat kita ingin merubah diri menjadi lebih baik saat itu juga.  Ataupun berlari memeluk orang tua kita mebgucap kata ‘maaf’.
Kawanku, beberapa waktu lalu kita telah mencapai kesempatan terakhir bersama mengikuti dzikir fenomenal itu. Dzikir yang memang direncanakan jauh hari khusus untuk kita. Tepat menjelang ujian akhir. Telah kita lewati bersama di masanya. Hanya yang membedakannya dari dzikir yang telah lalu adalah kita mempersiapkannya bersama-sama. Mulai dari membersihkan mushallah; mempersiapkan dan menyusun acara;  makan karena lelah; dan masih banyak lagi yang dilakukan bersama selama seharian. Intinya ada banyak yang berkorban demi terealisasinya acara itu.
Waktu itu kita berusaha memperlihatkan dan memberikan yang terbaik. Salah satu alasannya adalah karena orang tua atau keluaga kita akan datang. Saling silaturahmi sekaligus mendoakan anaknya. Salah satu momen yang tak bisa dilupakan dari setiap rangkaian acara tersebut adalah saat kita meminta doa restu bagi orang tua ataupun keluarga kita—waktu  itu. Air mata Ibu dan anak; ayah dan anak; nenek dan cucu; guru dan siswa; semua air mata itu adalah air yang tak kau minta mengalir dengan sendirinya, bukan?
Meski ada beberapa orang tua yang tak bisa hadir langsung. Baik itu karena jauh, sakit, sibuk, ataupun hal lainnya. Tapi percayalah, hadir tidaknya mereka di tempat itu. Doa mereka tentu akan selalu menyertai anaknya. Yakinlah, bahwa namamu terselip dalam doa dan sujudnya saat itu. Setiap saat. Bahkan sampai saat ini. Sebab itulah koadrat hidup.
Waktu-waktu saat dzikir terakhir itu adalah mozaik yang perlu kita simpan sampai kapanpun . Sebab    banyak mozaik yang ikut tercipta. Tak mungkin kutulis satu persatu dalam tulisan ini. Cukup kalian kembali mengingat mozaik itu. Cukup menelisik hati kalian lebih dalam. Mengingat tiap butir air mata yang jatuh kala itu. Tiap tetes yang jatuh karena makna. Baik itu sebab rasa bersalah, rindu, takut, resah, gelisah, dan lainnya
 Kawanku, mungkin di masa yang akan datang kalian akan mengikuti kegiatan-kegiatan serupa. Namun, percayalah sensasinya tak akan sama. Sebagaimana yang hampir 3 tahun bersama kita lalui. Maka kenanglah.Simpan. Dan sisakan ruang dalam dirimu: Untuk air mata dalam mozaik itu.



*SiriusMT


Tidak ada komentar:

Posting Komentar