Minggu, 05 Mei 2019

Jumat Pahit Jika Tak Lekat: About Last Friday


Jumat Pahit Jika Tak Lekat: About Last Friday



Sebagaimana Jumat-jumat yang kita lalui dari awal menginjak kaki di bumi excel. Hari terus bergulir. Sekian jumat keramat kita hadapi. Waktu kian merangkak. Tanpa mau bertoleransi. Pagi itu, Awan  tak Nampak kelabu. Pertanda hari cukup cerah. Meski beberapa dari kita berjalan malu-malu. Lantaran mata sembab yang menyisakan bengkak. Sisa malam dzikir yang baru semalam kita lalui. Tepat, hari tiu: Kita tiba di Jumat terakhir.
Meski awalnya beberapa dari kita ragu. Apakah benar,Jumat terakhir untuk kita sudah tiba? Layaknya dua tahun sebelumnya kita baru mengenal adanya tradisi ‘Last Friday’. Ataukah sebgaimana setahun lalunya kita sendiri  yang sibuk mempersiapkan ‘Last Friday’ itu.  Ya, itu Jumat yang sama. Pembedanya hanyalah,kata ‘Last Friday’ itu dipersembahkan khusus untuk kita; VorpalSword
***
Hampir serupa dengan ‘Last Ceremony’—tulisan khusus untuk mozaik ini mungkin akan kalian jumpai dalam tulisanku selanjutnya—yang saling meminta maaf antara adik dan kakak. Hanya saja kali ini kita yang mendatangi adik kelas. Tak sedikit dari kita yang sudah tak mampu menangis. Karena rasanya air mata itu telah terkuras habis di malam dzikir terakhir. Juga telah diluapkan saat upacara terakhir.
Kawan, setelah itu kalian ingat? Dalam baliho berukuran sedang yang memuat lebih kurang 95 tanda tangan dan nama kita. Disertai mimpi-mimpi dan harapan kita kedepannya. Mimpi-mimpi yang kita tulis saat itu juga akan turut menjadi saksi, jika dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan kita berhasil mewujudkannya.
Hal yang menjadi bagian favorit ‘Last Friday’ dari sebagian orang—tahu sendri saja orangnya--ialah  tradisi ‘Makan-Makan’ nya itu. Maklum saja, hanya event-event khusus yang punya kegiatan serupa. Belum lagi jika jamuan makan itu memang khusus untuk kita. Masih ingat dengan rasa kuenya? Ingat dengan dingin sirupnya? Ingat dengan bentuk kue tartnya? Ataukah masih ingat siapa saja yang kalian jahili dengan cream kue tart itu?
Meski ada beberapa bagian yang tak sesuai dengan ekspektasi kita. Tak akan mengubah kenangan manis di hari itu. Yang untuk kedepannya hanya bisa kita kenang. Pun Mustahil tuk diulang.
Mungkin momen yang sangat membekas saat itu terletak pada momen terakhir. Bukan hanya mebekas, melainkan memberi pengaruh besar untuk kehidupan mendatang. Sebab berkaitan dengan kebutuhan kita sebagai manusia: makhluk sosial. Ya, dalam kesempatan itu kita—vorpalsword—berbaris bersama. Dengan satu tujuan: saling meminta maaf.
Mengaku saja. Bagaimana pun cara kita saat itu menahan air mata agar tak menetes, tetap mustahil. Tak akan mampu. Ada yang memang telah menangis saat sebuah momen baru akan dimulai. Ada pula yang ‘sok’ tegar menahan bulir air itu agar tak membasahi pipinya. Meski ego itu tetap tak bertahan lama.
Waktu itu adalah saat ketika ego harus kita turunkan. Hati kita masih sama-sama tenang sebab efek dzikir yang baru semalamnya kita lalui. Banyak yang terjadi saat itu. Pribadi kalian yang seharusnya lebih tahu. Yang awalnya mendendam menjadi luluh. Yang awalnya tak saling bicara jadi memulai kata. Yang awalnya tak tahu menjadi tahu.  Kejadian lampau selama di boarding school itu dilampiaskan dalam bentuk maaf-memaafkan.
Hari itu tentu dipenuhi dengan air mata. Mata yang bengkaknya sudah sembuh, kembali bengkak. Mata yang masih bengkak makin menjadi-jadi. Ada yang secara khusus memberikan pesan-pesan pribadi. Ada pula yang tanpa sadar mengucap janji. Pun tuk ditunaikan di masa kelak. Kita tentu saling mengharap pesan-pesan dan janji itu akan disimpan dan ditunaikan suatu saat. Entah kapan. Mari saling menanti.
***
Jum’at, 8 Maret 2019 adalah hari yang sakral. Jumat yang kenangannya juga berbeda dan istimewa dari Jumat-jumat yang lain. Pahit jika tak lekat dalam ingatanmu masing-masing. Jika suatu saat kau hampir lupa, kembali ingat: kue, kesan, pesan-pesan, janji, dan kata maaf yang telah kita ucap, serta air mata yang jatuh hari itu. Dari hatimu yang paling tulus. See u On top. Guys. We are V5.

*SiriusMT

Jumat, 03 Mei 2019

Menelisik Mozaik dalam Air Mata: Dzikir Terakhir


Menelisik  Mozaik dalam Air Mata: Dzikir Terakhir
(7 Maret 2019)


Kita mungkin sudah akrab dengan dzikir yang seringkali dipandu oleh ustad andalan Excel—ustad Muis. Dzikir yang sudah kita kenal sejak awal duduk di bangku SMA. Dzikir yang tak jarang membuat mata kita sembab sebab air mata. Menurut kalian adakah yang bisa mengalahkan atau setidaknya menyamai sensasi damainya hati kala dzikir itu telah selesai?
Belum lagi, jika suara khas ust. Muis yang menyebut kata ‘Orang tua’  membuat tangis itu semakin menjadi-jadi. Bahkan membawa efek ‘taubat’ bagi yang mengikutinya. Meskipun efeknya kadangkala berlangsung beberapa saat. Bahkan kadang ada yang tak sampai 24 jam. Setidaknya efek  itu yang membuat kita lebih mengenal hati kita sendiri.  Membuat kita tahu bahwa diri kita berlumur dosa. Membuat kita ingin merubah diri menjadi lebih baik saat itu juga.  Ataupun berlari memeluk orang tua kita mebgucap kata ‘maaf’.
Kawanku, beberapa waktu lalu kita telah mencapai kesempatan terakhir bersama mengikuti dzikir fenomenal itu. Dzikir yang memang direncanakan jauh hari khusus untuk kita. Tepat menjelang ujian akhir. Telah kita lewati bersama di masanya. Hanya yang membedakannya dari dzikir yang telah lalu adalah kita mempersiapkannya bersama-sama. Mulai dari membersihkan mushallah; mempersiapkan dan menyusun acara;  makan karena lelah; dan masih banyak lagi yang dilakukan bersama selama seharian. Intinya ada banyak yang berkorban demi terealisasinya acara itu.
Waktu itu kita berusaha memperlihatkan dan memberikan yang terbaik. Salah satu alasannya adalah karena orang tua atau keluaga kita akan datang. Saling silaturahmi sekaligus mendoakan anaknya. Salah satu momen yang tak bisa dilupakan dari setiap rangkaian acara tersebut adalah saat kita meminta doa restu bagi orang tua ataupun keluarga kita—waktu  itu. Air mata Ibu dan anak; ayah dan anak; nenek dan cucu; guru dan siswa; semua air mata itu adalah air yang tak kau minta mengalir dengan sendirinya, bukan?
Meski ada beberapa orang tua yang tak bisa hadir langsung. Baik itu karena jauh, sakit, sibuk, ataupun hal lainnya. Tapi percayalah, hadir tidaknya mereka di tempat itu. Doa mereka tentu akan selalu menyertai anaknya. Yakinlah, bahwa namamu terselip dalam doa dan sujudnya saat itu. Setiap saat. Bahkan sampai saat ini. Sebab itulah koadrat hidup.
Waktu-waktu saat dzikir terakhir itu adalah mozaik yang perlu kita simpan sampai kapanpun . Sebab    banyak mozaik yang ikut tercipta. Tak mungkin kutulis satu persatu dalam tulisan ini. Cukup kalian kembali mengingat mozaik itu. Cukup menelisik hati kalian lebih dalam. Mengingat tiap butir air mata yang jatuh kala itu. Tiap tetes yang jatuh karena makna. Baik itu sebab rasa bersalah, rindu, takut, resah, gelisah, dan lainnya
 Kawanku, mungkin di masa yang akan datang kalian akan mengikuti kegiatan-kegiatan serupa. Namun, percayalah sensasinya tak akan sama. Sebagaimana yang hampir 3 tahun bersama kita lalui. Maka kenanglah.Simpan. Dan sisakan ruang dalam dirimu: Untuk air mata dalam mozaik itu.



*SiriusMT